Pengertian Tembung Saloka beserta 25 Contohnya

Tembung Saloka

Tembung saloka adalah salah satu aspek penting dalam mempelajari Bahasa Jawa.

Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi lebih dalam tentang tembung saloka, termasuk contoh-contohnya dan signifikansinya dalam budaya Jawa.

Apa Itu Tembung Saloka

Secara definisi, tembung saloka adalah unen-unen yang tetap dalam penggunaannya dalam bahasa Jawa, yang mengandung unsur pengandaian terhadap orang, binatang, atau benda.

Dengan kata lain, tembung saloka adalah kata-kata yang memiliki makna kiasan, di mana subjeknya bisa berupa manusia, binatang, atau objek. Isi dari tembung saloka ini tetap konsisten seiring waktu, telah melalui perkembangan dalam sastra Jawa, dan diturunkan secara turun-temurun.

Tembung saloka juga dikenal karena penyusunannya yang indah, sehingga membuat lawan bicara merasa nyaman saat mendengarkannya. Hal ini menjadikan tembung saloka menjadi bagian yang penting dalam keindahan bahasa Jawa.

Contoh Tembung Saloka beserta Artinya

Tembung Saloka adalah bagian tak terpisahkan dari kayaan budaya Bahasa Jawa. Dalam kehidupan sehari-hari, tembung saloka sering digunakan untuk menyampaikan makna dalam bentuk ungkapan yang memiliki filosofi tersendiri.

Berikut ini beberapa contoh tembung saloka beserta artinya:

1. ”Idu didilat maneh”

(Tegese wong kang menehi dijaluk bali maneh utawa murungake janji kang wis diucapake)

Artinya: Orang yang sudah memberi kemudian meminta kembali pemberiannya atau membatalkan janji yang diucapkan.


2. “Kebo ilang tombok kandhang”

(Tegese wong wis kelangan isih mbutuhake wragat kanggo nggoleki barang sing ilang mau)

Artinya: Orang yang sudah kehilangan tapi masih membutuhkan biaya untuk mencari barang yang hilang.


3. “Belon metu seton”

(Melu ing grubug nanging ora weruh ing rembug)

Artinya: Orang yang hanya ikut-ikutan saja, tanpa mengetahui maksudnya.


4. “Asu belang kalung wang”

(Tegese wong ala utawa wong asor nanging sugih)

Artinya: Orang jelek, rendah, atau jahat tetapi kaya.


5. “Klenthing wadhah masin”

(Tegese wong kang angel ninggalake pakulinan sing ora becik)

Artinya: Orang yang berat meninggalkan kebiasaan buruk.


6. “Asu gedhe menang kerahe”

(Tegese wong luwih dhuwur pangkate lan luwih gedhe panguasane biasane menang perkarane)

Artinya: Orang yang lebih tinggi derajat pangkatnya biasanya menang permasalahannya.


7. “Ati bengkong oleh oncong”

(Tegese wong kang duwe niat ala, ana sing nyarujuki oleh dalane)

Artinya: Orang yang punya niat buruk/ jahat ada yang mendukung dan mendapat jalan.


8. “Kebo mulih ing kandange”

(Uwong lelungan golek pakaryan, banjur uwis kasil lan bisa bali menyang panggonan asale)

Artinya: Orang yang merantau untuk mencapai pekerjaan, kemudian menghasilkan sesuatu dan bisa kembali ke tempat asalnya.


9. “Kemladheyan ngajak sempal”

(Sanak sedulur kang ngajak marang kesusahan)

Artinya: Sanak sedulur yang mengajak kepada keburukan.


10. “Baladewa ilang gapite”

(Tegese wong kang ilang kekuwatane)

Artinya: Orang yang kehilangan kekuatannya.


11. “Bathok bolu isi madu”

(Tegese wong asor nanging sugih kapinteran)

Artinya: Orang rendahan tetapi kaya pengetahuan.


12. “Iwak klebu wuwu”

(Kena apusan kanthi gampang nemu bebaya, ora bisa diobati maneh)

Artinya: Orang yang mudah ditipu atau mudah menemukan bahaya, tidak bisa dihindari lagi.


13. “Tunggak kemadhuh”

(Tilas mungsuh)

Artinya: Bekas musuh.


14. “Pitik trondhol diumbaring padaringan”

(Tegese wong ala kang dipasrahi njaga barang kekaremane, wekasane malah ngentek-entekake)

Artinya: Orang jahat yang diberi kepercayaan menjaga barang yang disukainya akhirnya malah merusak dan merugikan.


15. “Gong lumaku tinabuh”

(Tegese wong kang tansah kumudu-kudu ditakoni, utawa dijaluki piwulang)

Artinya: Orang yang selalu dimintai petuah atau dimintai ilmu pengetahuan.


16. “Kebo nusu gudel”

(Wong tuwo sing njaluk warahan marang wong enom)

Artinya: Orang tua yang minta diajari orang yang lebih muda.


17. “Bebek mungsuh mliwis”

(Wong pinter mungsuh wong pinter)

Artinya: Orang pandai yang bersaing dengan orang pandai juga.


18. “Gajah ngidak rapah”

(Wong sing ngelanggar wewalere dewe)

Artinya: Orang yang melanggar aturannya sendiri.


19. “Sumur lumaku tiniba”

(Wong sing kumudu-mudu dijaluki warah)

Artinya: Seseorang yang tergesa-gesa dimintai petunjuk.


20. “Yuyu rumpung mbarong ronge”

(Tegese omahe magrong-magrong, nanging sajatine kekurangan)

Artinya: Rumahnya besar tetapi sebenarnya orang yang miskin.


21. “Kriwikan-dadi grojogan”

(Tegese prekara cilik dadi prakara gedhe tur ngambra-ambr)

Artinya: Permasalahan kecil menjadi besar dan menjadi-jadi.


22. “Jati ketlusuban ruyung”

(Golongan uwong kang becik klebon wong ala wateke)

Artinya: Golongan orang baik yang kedatangan orang berwatak tidak baik.


23. “Kebo bule mati setra”

(Tegese wong pinter, nanging kapinterane ora ana kang merlokake kapinterane amarga ing tengahing pategalan)

Artinya: Orang pandai tapi kepandaiannya tidak ada yang membutuhkan karena berada di tempat yang tidak semestinya.


24. “Tumbu oleh tutup”

(Tegese wong wis cocok karo karepe

Artinya: Orang yang sudah cocok dengan keinginannya.


25. “Opor bebek mentas awake dhewek”

(Tegese wong kang ngrampungi saka rekadayane dhewe

Artinya: Orang yang menyelesaikan permasalahan karena usahanya sendiri.


Pentingnya Tembung Saloka dalam Budaya Jawa:

Tembung Saloka bukan hanya sekadar struktur kalimat dalam bahasa Jawa, tetapi juga merupakan bagian integral dari budaya dan identitas Jawa.

Penggunaan Tembung Saloka tidak hanya membantu dalam penyampaian pesan yang lebih kaya dan dalam, tetapi juga memperkuat nilai-nilai dan tradisi budaya Jawa yang kaya akan filosofi dan kearifan lokal.

Dengan memahami Tembung Saloka, seseorang dapat lebih mendalam memahami kekayaan bahasa dan budaya Jawa serta menghargai kompleksitasnya dalam komunikasi sehari-hari maupun dalam karya sastra.

Akhir Kata

Dalam kesimpulan, Tembung Saloka adalah salah satu aspek penting dalam bahasa Jawa yang membawa makna mendalam dan kompleksitas dalam setiap ungkapan.

Dengan menghargai dan memahami Tembung Saloka, kita dapat lebih memperkaya pemahaman tentang budaya dan kekayaan bahasa Jawa.